Senin, 14 Juli 2014

PROFILE





BIODATA
Nama:                            Linda Feronika
Nim   :                            A510120181
Tempat/tanggal lahir:     Musi Banyuasin, 09 Februari 1993
Alamat:                           Perum DPU, Widoro, RT/RW:41/12, Sragen Wetan, Sragen.
Fakultas:                         Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Progdi:                            Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Kelas:                              IVE

Sabtu, 14 Juni 2014

PENGETAHUAN KARAWITAN

PENGETAHUAN KARAWITAN
A.    Istilah kawawitan
Kebudayaan daerah berfungsi sebagai pembentuk kebudayan nasional. Kita pun tahu salah satu bagian dari kebudayaan diantaranya kesekian. Karena itulah, dapat ditarik kesimpulan bahwa kesenian daerah merupakan unsure penting dalam pembentukan kesenian nasional Indonesia. Antara kesenian daerah disatu pihak dan kesenian Nasional di pihak lain tidak berdiri berhadpan dan saling menyaingi, tapi justru merupakan dua unsur yang harmonis.
Berbicara kesenian daerah, maka kita akan berbicara tentang kesenian    daerah sunda, salah satunya adalah Karawitan Sunda.
Karawitan Sunda memiliki cirri-ciri tersendiri, demikian pula dalam pertumbuhan dan perkembangannya sangat dilatarblakangi olh keberadaan manusia Sunda itu sendiri. Memang istilah karawitan  dalam bahasa Sunda dapat dikatakan sebagai bentukan baru. Meskipun demikian, pemakaiannya cepat sekali meluas, sehinga istilah ini tidaklah dianggap sebagai sesuatu yang asing.
Ada sebuah pendapat yang menyebukan, istilah karawitan  dibentuk dari kata asal rawit, lalu dibubuhi imbuhan ka-an. Kata rawit itu sendiri, biasa dihubungkan dengan salah satu jenis cabe, maka jadilah cabe rawit, yaitu cabe yang bentuknya kecil, warnanya indah, dan rasanya sangat pedas.
Timbul pertanyaan, apa hubungannya cabe (kecil, indah, dan pedas) dengan salah stu kesenian? Memang agak sulit ditelusuri seara pasti, namun diduga antara kedua hal tersebut mempunyai salah satu persamaan yaitu dalam segi keindahannya. Sebab, sebagai sebuah krya seni, karawitan memiliki keindahan yaitu dalam suara ang dihasilkannya. Tapi yang jelas, pada bahasa sunda istilah karawitan diartikan sebagai seni suara yang memiliki cirri atau unsure tradisi daerah. Orang sunda menggunakan istilah karawitan untuk jenis kesenian degung, cianjuran, celempungan, calung, dan berbagai jenis suara lainnya yang mmilikki cirri tradisi sunda. Ciri ini dititik beratkan pada penggunaan laras pelog dan salendro.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan karawitan yaitu seni suara manusia dan atau bunyi waditra yang sesuai dengan  (berdasarkan pada) tradisi daerah.
B.     Media karawitan.
Media yang digunakan dalam karwitan adalah suara. Suara. yang dimaksud adalah suara yang bersumber dari manusia dan suara dari waditra yang dimainkan.
Suara yang dihasilkan tersebut mestilah memenuhi syarat  sebagai ungkapan musical, maksudnya sesuatu ayng mempunyai arti yang proses pengolahannya berdasarkan kaidah-kaidah music. Yang termasuk dalam kaidah-kaidah music ini ialah adanya unsure nada, ritme, harmonisasi, keseimbangan, dan unsur lainnya.
Di dalam istilah suara ada yang disebut nada dan desah. Nada adalah suara yang berirama sedangkan desah  adalah suara yang tidak berirama. Suara dibagi menjadi 2, yaitu suara ultrasonic dan suara infrasonic. Suara ultrasonic adalah suara yang tidak bisa terdengar karena terlalu tinggi dan suara infrasonic adalah suarayang tidak bisa terdengar karena terlalu rendah.
Nada diatur sedemikian rupa sehingga menjadi laras. Yang dimaksud laras ialah deretan nada-nada, baik turun maupun naik, yang disusun dalam satu  gembyang (oktav) dengan swarantara (interval) yang telah di tentukan. Dalam karawitan Sunda dikenal 2 laras pokok; yaitu pelog dan salendro. Laras pelog terbagi menjadi 3 surupan. Yaitu surupan jawar, surupan Liwung dan surupan sorog. Laras salendro terbagi menjadi;
a)      Degung
Laras degung terbagi menjadi 2, yaitu Dwi swara dan tri swara.
b)      Madenda
Laras Madenda terdiri dari beberapa ukuran surupan. Ukuran surupan dalam istilah music dikenal dengan istilah nada dasar. Ukuran surupan madenda adalah Medenda 4 (ti) = Panelu dan 4 (ti) = Tugu.
c)      Mandalungan
Dalam karawitan pun dikenal istilah titi laras. Titi laras identik dengan tangga nada. Titi laras adalah deretan/susunan  nada-nada. Biasanya menggunakan lambing/ notasi. Macam-macam notasi diantaranya:
·         Not angka
1.      Solmisasi
2.      Da mi na
3.      Rapatinan
·         Not balok
1.      Pamanyu
2.      Primapista
·         Not huruf
1.      Ding dong
2.      Tugu, singgul, galimber
·         Not rantai
·         Not kata.
C.     Fungsi karawitan
a)      Ritual
Maksudnya adalah, dalam bentuk penyajian mempunyai maksu dan tujuan keyakinan. Adanya kepercayaan pada sebagian masyarakat Jawa Barat yang tercermin dalam berbagai upacara yang bersifat ritual,  sebagian besar selalu berkaitan dengan kesenian, seperti tarian-tarian upacara penghormatan, persembahan, dan selamatan. Contoh karawitan yang berfungsi sebagai ritual yaitu Tarawangsa, Angklung Sered, Seni helaran, pementasan wayang golek pada acara ruwatan, dan lain-lain. 
b)      Spiritual
Maksudnya adlah dalam bentuk penyajiannya harus berdasarkan rasa (kalangenan) untuk diri sendiri. Seni merupakan sebuah ekspresi, yaitu ungkapan perasaan dan jiwa seseorang. Di dalam karawitan, perasaan seperti gembira, sedih, marah, cinta, sering diungkapkan dalam berbagai bentuk. Yang paling terlihat apabila kita memperhatikan syair sebuah lagu.
c)      Festival
Karawitan juga bisa berfungsi sebagai festival. Artinya, dalam bentuk penyajiannya tidak mengarah pada rumpun. Misalnya Pasanggiri dan Binojatrama.
d)     Komersil
Seiring dengan kemajuan zaman, kedudukan karawitan sudah sejajar dengan jenis kesenian lainnya. Tentunya hal ini mempengaruhi pula terhadap segi-segi kehidupan senimannya sendiri, khususnya dalam jaminan materi.
e)      Hiburan
Karawitan berfungsi sebagai hiburan artinya, dengan bermain atau mendengarkan karawitan, seseorang dapat terhibur dan tumbuh perasaan senang dalam hatinya. Jenis-jenis karawitan yang mengandnung unsur hiburan antara lain; Kliningan, Degung Kawih, Jaipongan, Ketuk Tilu, Calung, Reog, Bangreng, Wayang Bodoran, Longser.
D.    Penyajian
Dalam penyajiannya ada yang brsifat individu dan bersifat group (bersama). Misalnya karawitan sekar (penyajian oleh suara manusia), karawitan gending (penyajian oleh waditra), karawitan sekar gending (penyjian oleh suara manusia dan waditra).
E.     Bentuk
 Bentuk penyajian karawitan diantaranya ; karawitan sekar (penyajian oleh suara manusia), karawitan gending (penyajian oleh waditra), karawitan sekar gending (penyjian oleh suara manusia dan waditra).
F.      Sumber bunyi
·         Membranofon (waditra yang sumber bunyi dari kulit)
·         Aerofon (waditra yang sumber bunyi dari udara)
·         Kordofon (waditra yang sumber bunyi dari dawai)
·         Elektrofon (waditra yang sumber bunyi menggunakan listrik)
·         Idiofon (waditra yang sumber bunyi dari alat itu sendiri)
G.    Cara memainkan
·         Dipukul ( kendang, perkusi, dll)
·         Digesek (rebab, biola, dll)
·          Dipetik (kecapi, gitar, dll)
·         Ditiup (suling, terompet, dll)
·         Digoyang (angklung)

NASKAH DRAMA

 PERSAHABATAN


Suatu ketika disaat keadilan sudah menjadi kata yang punah. Sedang diadakannya ujian semester. Adi dan Banu duduk sebangku, Sita dan Dini duduk sebangku di depannya, sedangkan Budi duduk sendiri disamping Banu.
Mata pelajaran yang sedang di ujiankan adalah matematika, semua murid terlihat kebingungan dan kewalahan melihat soalnya. Dan terjadi lah percakapan antara 5 sekawan, Adi, Budi, Banu, Sita dan Dini.
Banu: “Din, aku minta jawaban soal nomor 5 dan 6!”
Dini: “A dan C”
Sita: “kalau soal nomor 10,11 dan 15 jawabannya apa Ban?
Banu: “10 A, 11 D, nomor 15 aku belum”
Adi: “Huss, jangan kencang-kencang nanti gurunya dengar”
Sita: “soalnya sulit sekali, masih banyak yang belum aku kerjakan”
Mereka berempat saling contek-mencontek seperti pelajar lainnya. Tapi tidak dengan Budi, ia terlihat rileks dan mengerjakan soal ujian sendiri tanpa mencontek.
Banu: “Bud,kamu sudah selesai?”
Budi: “Belum, tinggal 3 soal lagi”
Banu: “Aku minta jawaban nomor 15 sampai 20 Bud!”
Budi: “Tidak Bisa Ban”
Banu: “Kenapa? Kita sahabat bud, kita harus kerjasama”
Dini: “Iya Bud, kita harus kerja sama”
Adi: “Iya, kamu kan yang paling pintar disini bud”
Budi: “tapi bukan kerjasama seperti ini teman-teman”
Sita: “Kenapa memang Bud? Hanya 5 soal saja!”
Budi: “Mencontek atau pun memberi contek adalah hal buruk, yang dosanya sama. Aku tidak mau mencotek karena dosa, begitu pula memberi contek ke kalian. Aku minta maaf”
Sita: “Tapi saat ini, sangat mendesak Bud”
Dini: “Iya Bud, bantu kami”
Budi: “tetap tidak bisa”
Adi: “ya sudah, biarkan. Urus saja dirimu sendiri Bud, dan kami urus diri kami sendiri.” (marah dan kesal)
Banu: “biarkan, kita lihat di buku saja”
Banu lalu mengeluarkan buku dari kolong bangkunya secara diam-diam, kemudian melihat rumus dan jawaban di dalamnya. Lalu Sita menanyakan hasilnya.
Sita: “Bagaimana Ban? Ada tidak?
Banu: “ada, kalian dengar ya. 15 A, 16 D, 17 D, 18 B, 19 A, 20 C”
Kareana suara Banu yang agak terdengar keras, Guru pun mendengarnya dan menghampiri mereka berempat.
Guru: “Kalian ini, mencontek terus. Keluar kalian!”
Mereka berempat di hukum di lapangan untuk menghormati tiang bendera.
Banu: “Aku tidak menyangka akan seperti ini”
Dini: “Aku juga tidak menyangka, akan dihukum”
Sita: “Seharusnya kita belajar ya”
Adi: “Iya, Budi benar”
Banu: “Disaat seperti ini, baru kita menyadarinya yah!”
Sita: “Aku menyesal!”
Adi, Dini&Banu: “Aku juga” bersama
Setelah itu Budi keluar dari kelas dan menghampiri mereka. Kemudian Budi ikut berdiri hormat seperti yang lain.
Dini: “kenapa bud? Kamu di hukum juga?”
Budi: “Tidak, aku ingin menjalani hukuman kalian juga.
Kita sahabat kan? Aku ingin kita bersama”
Sita: “aku berharap ini menjadi pelajaran kita semua”
Dini: “dan tidak kita ulangi lagi”
Adi: “Kita sahabat sejati”
Lalu mereka semua menjalani hukuman dengan penuh senyum dan tawa. Persahabatan akan mengalahkan segala keburukan.

unggah-ungguh basa jawa



UNGGAH-UNGGUHING BASA JAWA
LINDA FERONIKA
A510120181
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruandan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
2014

feronikalinda1@gmail.com



PEMBAHASAN
           
            Unggah-ungguhing basa Jawa, yaiku pranataning basa manut lungguhing tata krama. Tata krama, yaiku samubarang kang ana sambung rapete karo wong lagi ngomong supaya runtut anut paugeraning paramasastra. Supaya jumbuh/trep karo unggah-ungguhing basa Jawa, mula menawa sesrawungan karo wong liya kudu:
1. Basane netebi pranataning subasita
2. Manut paugeran tata susila
3. Basane gawe reseping ati    
            Unggah-ungguh asring sinebat undha usuk, tingkat tutur, tingkat ujaran, utawi speech level. Unggah-ungguh tegesipun tata pranataning basa miturut lungguhing tatakrama. Undha usuk tegesipun tatakrama unggah-ungguhing ginem tuwin tindak tanduk utawi sopan babagan pangandikan lan tumindakipun. Tingkat (speech level) inggih punika tata caranipun ngaturaken raos pakurmatan dumatheng tiyang sanes rikalanipun sami gineman.
            Basa Jawa iku duwe unggah-ungguh basa, yaiku sing mbedakake basa Jawa karo basa liyane kang dianggo pasrawungan manungsa. Dene cak-cakane nganggo wewaton ing antarane:
1. Umur, kanggo sing enom ngurmati sing tuwa
2. Peprenahan,kanggo adhi ngurmati marang kangmas/mbakyu lan anak ngurmati bapa utawi biyung
3. Drajat pangkat, kanggo murid ngurmati marang gurune lan pegawe ngurmati marang pangarsane.
4. Drajat semat, kanggo ngurmati wong sing sugih, lemahe amba, lan sapanunggalane.
5. Trah, kanggo ngurmati merga tedhak turune wongluhur, trahing kusuma rembesing madu.
6. Luhuring pribadi, kanggo sarjana, pahlawan, ulama, lan sapanunggalane
7. Tepungan anyar/durung kulina, adakane luwih diajeni.

Unggah-ungguhing basa jawa:
a.     Basa ngoko
         Basa ngoko kaperang dadi:
     1) Ngoko lugu
         Ginanipun basa ngoko lugu inggih menika kangge gineman utawi pachelaton antawisipun:
·   tiyang sepuh dumateng anak, wayah, utawi tiyang enem sanesipun.
·   sesamining tiyang,boten ngemuti drajat lan pangkatipun.
·   panggedhedumateng andhahanipun
·   ngudaraos piyambakan
     2) Ngoko andhap:
         - Antya basa: tembungipun ngko kecampuran tembung krama inggil  tumrap tiyang ingkang dipunajak gineman, ingkang ngendika mawi krama andhap mratelakaken dipunajeni.
         - Basa antya: wujudipun ngoko dipuncampuri tembung-tembung krama lan krama inggil.
b.   Basa madya
1)      Basa madya ngoko inggih menika basa ingkang tembungipun nadya ingkang kacampurantembung ngoko ingkang boten wonten madyanipun.
2)      Basa madya krama ingkang tembung-tembungipun madya kacampuran tembung krama.
3)      Madyantara menika tembung-tembungipun kedadosan saking basa madyantara namung tembug-tembung ingkang tumuju dhumateng tiyang sanes ingkang kaajak gineman kagantos mawi krama inggil.
c.       Basa krama
     Basa krama kaperang dadi:
1)      Mudha krama/ krama alus inggih menika basa ingkang luwes sanget, jalaran saged kaginakaken dhumateng sadhengah tiyang, boten wonten awonipun. Tiyang dipunajak gineman dipunaosi, dene ingkang gineman dipunasoraken.
2)      Kramantara menika tembungipun krama sedaya boten kacampuran krama inggil.
3)      Wredha krama menika meh sami kaliyan kramantara, boten kacampuran krama inggil wondene bedanipun wonten ater-ater di-, lan panambang -e/-ake.
d.      Krama inggil menika tembungipun krama sedaya. kacampuran krama inggil tumrapipun tiyang ingkang dipunajak gineman.
e.       krama desa menika basa ingkang tembung-tembungipun krama, kacampuran utawi kamomoran tembung-tembung krama desa.
f.       Basa bagongan inggih menika basa ingkang namungkaginakaken utawi kangge gineman wonten salebeting dhatuloyo utawi karaton.
           
KESIMPULAN

Unggah-ungguh asring sinebat undha usuk, tingkat tutur, tingkat ujaran, utawi speech level. Unggah-ungguh tegesipun tata pranataning basa miturut lungguhing tatakrama. Undha usuk tegesipun tatakrama unggah-ungguhing ginem tuwin tindak tanduk utawi sopan babagan pangandikan lan tumindakipun. Tingkat (speech level) inggih punika tata caranipun ngaturaken raos pakurmatan dumatheng tiyang sanes rikalanipun sami gineman. Unggah-ungguhing basa inggih menika basa ngoko, basa madya,basa krama,basa krama inggil, krama desa, lan basa bagongan.

DAFTAR PUSTAKA

Sulistyanto. 2008. Bebakalan Sinau Basa Jawa. Surakarta: Cendrawasih.
Winoto, Bekti.2008.Modul Siswa: Penunjang Pembelajaran Basa Jawa. Surakarta: PT Widya Duta Grafika.
Sutardjo,imam.2014.Kawruh Basa saha Kasusastran Jawi.Surakarta:bukutujju.